t
hitam pekat, tak ada kerlip bintang yang mengintip di sana. Aku merasa takut.
Ganasnya malam menuntunku masuk ke dalam rumah kecilku yang hangat. Aku
bergabung bersama mata-mata yang penuh kasih sayang. Bersama ayah, ibu, dan kakak
perempuanku. Kami bercengkerama penuh canda. Inilah saat-saat terindah dalam
hidupku, bersama orang-orang yang mengasihi dan mencintaiku dengan ketulusan
yang luar biasa.
Sejenak
semuanya diam. Penantian detik demi detik pada putaran jam membuat suasana
menjadi hening. Terkejut aku seketika, demi mendengar penuturan ayah yang
dengan saksama aku perhatikan.
“Nduk,
sebaiknya kamu belajar di pondok pesantren.”ucap ayah.
“Iya
Dik, dengan belajar di pondok pesantren Adik bisa belajar disiplin
waktu.”timpal kakak.
Wow… Hal
yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Bahkan terlintas di benakku pun tidak.
Pondok pesantren? Tempat apa itu? Menurutku itu pasti tempat yang mengerikan.
Tanpa ayah, tanpa ibu dan kakak tersayang. Tentu aku bagai dipenjara dan
terpasung jika benar-benar
dipondokpesantrenkan.
Astaghfirrullah…ini
mimpi buruk, bahkan teramat buruk bagiku. Dari kecil belum pernah jauh dari
ayah ibu, keluarga yang penuh cinta.
Kasih sayang dan tutur kata lembut yang selalu kudengar di setiap
dimensi waktu takkan sering kudengar lagi. Jika aku ditanya hal apa yang paling
aku takutkan adalah jika harus berpisah dengan orang-orang yang menyayangiku. Dan
aku pun sangat menyayangi mereka. Mana mungkin aku bisa berpisah dengan mereka?
Ingin
hati menolak keinginan ayah. Tanganku mulai terasa dingin dengan mata
berkaca-kaca. Aku tak berdaya, bahkan untuk memeluk ibu sekalipun. Ya Allah,
jawaban apa yang harus kuberikan kepada ayah? Hati dan perasaan ini tak kuasa
menanggung beban yang bagiku sangat berat. Segalanya menjadi rumit tak
berujung.
Akhirnya
kuberanikan diri untuk minta waktu kepada ayah untuk menjawab keinginan ayah.
Kemudian kulangkahkan kaki menuju tempat paling istimewa di antara ruangan yang
ada di rumahku. Tempat aku menangis dan tersenyum. Tempat aku menumpahkan
segala rasa. Tempat di mana ciuman hangat ibu selalu mendarat di kening dan
pipiku saat aku memejamkan mata dalam akhir malamku. Juga tempat di mana aku
selalu dibelai manja oleh tangan ibu ketika membangunkan tidurku tiap pagi.
Saat ini, di sini, di kamar ini, air mataku tak sanggup lagi kubendung. Aku
menangis, semenangis-menangisnya.
Senja
mulai berganti dengan malam. Tiba saat yang sangat kubenci. Aku mencium tangan
kedua orang tuaku. Kuberanjak. Beralih dari dari pintu menuju motor yang akan
dikemudikan oleh ayah. Tak kuat lagi aku melambaikan tangan ini ke arah pemilik
mata yang indah di depan pintu. Mata indah ibu dan kakakku. Aku masih sempat
meyakinkan hatiku. Yakin bahwa rencana-Nya adalah lebih baik dari rencanaku
sebagai manusia yang penuh salah dan dosa. Rencana-Nya adalah yang terbaik dari
seluruh rencana yang dibuat oleh siapapun, dalam kondisi apapun. Bahwa ridho
orang tua adalah penentu ridho Allah, yang membuat aku agak merasa ringan
melangkah.
Sampailah
aku di tempat yang tak penah aku berpikir untuk menempatinya. Surga atau neraka? Aku mencoba menepis pertanyaan dalam benakku itu.
Suka atau tidak. Mau atau tidak, aku harus menjalani kehidupan baruku di sini,
hari demi hari. Di pondok pesantren.
Aku
tidur di sebuah kamar kecil tanpa alas kasur yang empuk, yang di sebut gothak.
Tiap pagi pintu kamar digedor untuk membangunkan para santri untuk sholat
subuh. Suara keras pengeras suara dari mushola malah selalu memaksa. Memaksa
untuk segera membuka mata yang masih mengantuk. Memaksa untuk segera ambil air
wudhu. Memaksa untuk segera sholat. Entah percaya atau tidak, tiap kali
mendengar adzan subuh, aku selalu menutup telingaku rapat-rapat. Suara itu
menyiksaku.

Bulan
pertama aku hidup dalam penjara suci. Perputaran roda kehidupan membawaku
berdiri pada satu titik perubahan. Neraka buatanku itu beranjak mengindah.
Penjara yang juga buatanku itu menjadi begitu nikmat. Suara adzan itu berubah
menjadi suara malaikat yang penuh cinta. Gedoran pintu gothak kini menjadi
dongeng yang luar biasa.
Perubahan
yang begitu luar biasa, aku bisa menjalankan sholat lima waktu dengan berjamah,
tiap hari bisa sholat malam, bisa belajar pada pukul 02.00 dini hari, puasa
Senin-Kamis pun bisa aku jalani dengan senang hati. Semua itu bisa aku lakukan
dengan rasa yang nikmat dan gembira.
Benar
pesan ayah kala itu. Bahwa di pondok pesantren mencari ilmu menuju surga bukan sekadar untuk mencari banyak teman. Hal itulah yang
selalu menguatkanku ketika aku merasa tersakiti oleh sikap ataupun ucapan
teman-temanku. Aku hanya diam, dan berusaha tidak marah dengan semuanya.
Meskipun ketika aku harus belajar, terpaksa mendengar suara musik dari handphone teman. Aku mencoba untuk bisa memahami bahwa
setiap orang berbeda karakternya. Makanan ala kadarnya pun mengajariku terus
bersyukur. Bersyukur masih ada makanan untuk disantap. Di sini aku belajar
kehidupan, bahwa bahagia itu sederhana. Mimpi buruk akan berubah fakta yang
indah ketika dijalani dengan senyuman.
Bisa
menerima dan menjalali hal yang lebih baik membuatku semakin bersyukur di
setiap nafas yang terhembus. Sekarang semuanya menjadi indah . Aku yakin
sekarang cinta Allah menuntunku pada satu titik terang. Titik terang itulah
yang kuharapkan bisa meraih surga Allah kelak. Semoga berawal dari air mata,
aku sanggup menggenggam surga, menggapai ridha Illahi. Amin.
Karya
: Tiyas IXF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar