Rabu, 23 Januari 2013

Air Mata Surga


t hitam pekat, tak ada kerlip bintang yang mengintip di sana. Aku merasa takut. Ganasnya malam menuntunku masuk ke dalam rumah kecilku yang hangat. Aku bergabung bersama mata-mata yang penuh kasih sayang. Bersama ayah, ibu, dan kakak perempuanku. Kami bercengkerama penuh canda. Inilah saat-saat terindah dalam hidupku, bersama orang-orang yang mengasihi dan mencintaiku dengan ketulusan yang luar biasa.
Sejenak semuanya diam. Penantian detik demi detik pada putaran jam membuat suasana menjadi hening. Terkejut aku seketika, demi mendengar penuturan ayah yang dengan saksama aku perhatikan.
“Nduk, sebaiknya kamu belajar di pondok pesantren.”ucap ayah.
“Iya Dik, dengan belajar di pondok pesantren Adik bisa belajar disiplin waktu.”timpal kakak.
Wow… Hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Bahkan terlintas di benakku pun tidak. Pondok pesantren? Tempat apa itu? Menurutku itu pasti tempat yang mengerikan. Tanpa ayah, tanpa ibu dan kakak tersayang. Tentu aku bagai dipenjara dan terpasung  jika benar-benar dipondokpesantrenkan.
Astaghfirrullah…ini mimpi buruk, bahkan teramat buruk bagiku. Dari kecil belum pernah jauh dari ayah ibu, keluarga yang penuh cinta.  Kasih sayang dan tutur kata lembut yang selalu kudengar di setiap dimensi waktu takkan sering kudengar lagi. Jika aku ditanya hal apa yang paling aku takutkan adalah jika harus berpisah dengan orang-orang yang menyayangiku. Dan aku pun sangat menyayangi mereka. Mana mungkin aku bisa berpisah dengan mereka?
Ingin hati menolak keinginan ayah. Tanganku mulai terasa dingin dengan mata berkaca-kaca. Aku tak berdaya, bahkan untuk memeluk ibu sekalipun. Ya Allah, jawaban apa yang harus kuberikan kepada ayah? Hati dan perasaan ini tak kuasa menanggung beban yang bagiku sangat berat. Segalanya menjadi rumit tak berujung.
Akhirnya kuberanikan diri untuk minta waktu kepada ayah untuk menjawab keinginan ayah. Kemudian kulangkahkan kaki menuju tempat paling istimewa di antara ruangan yang ada di rumahku. Tempat aku menangis dan tersenyum. Tempat aku menumpahkan segala rasa. Tempat di mana ciuman hangat ibu selalu mendarat di kening dan pipiku saat aku memejamkan mata dalam akhir malamku. Juga tempat di mana aku selalu dibelai manja oleh tangan ibu ketika membangunkan tidurku tiap pagi. Saat ini, di sini, di kamar ini, air mataku tak sanggup lagi kubendung. Aku menangis, semenangis-menangisnya.
Senja mulai berganti dengan malam. Tiba saat yang sangat kubenci. Aku mencium tangan kedua orang tuaku. Kuberanjak. Beralih dari dari pintu menuju motor yang akan dikemudikan oleh ayah. Tak kuat lagi aku melambaikan tangan ini ke arah pemilik mata yang indah di depan pintu. Mata indah ibu dan kakakku. Aku masih sempat meyakinkan hatiku. Yakin bahwa rencana-Nya adalah lebih baik dari rencanaku sebagai manusia yang penuh salah dan dosa. Rencana-Nya adalah yang terbaik dari seluruh rencana yang dibuat oleh siapapun, dalam kondisi apapun. Bahwa ridho orang tua adalah penentu ridho Allah, yang membuat aku agak merasa ringan melangkah.
Sampailah aku di tempat yang tak penah aku berpikir untuk menempatinya. Surga atau neraka? Aku mencoba menepis pertanyaan dalam benakku itu. Suka atau tidak. Mau atau tidak, aku harus menjalani kehidupan baruku di sini, hari demi hari. Di pondok pesantren.
Aku tidur di sebuah kamar kecil tanpa alas kasur yang empuk, yang di sebut gothak. Tiap pagi pintu kamar digedor untuk membangunkan para santri untuk sholat subuh. Suara keras pengeras suara dari mushola malah selalu memaksa. Memaksa untuk segera membuka mata yang masih mengantuk. Memaksa untuk segera ambil air wudhu. Memaksa untuk segera sholat. Entah percaya atau tidak, tiap kali mendengar adzan subuh, aku selalu menutup telingaku rapat-rapat. Suara itu menyiksaku.
ery3.jpgHari demi hari berlalu. Seperti itu dan seperti itu. Akhirnya menjadi sebuah rutinitas dan tradisi bagiku semua keadaan yang ada di pondok pesantren. Termasuk ketika harus terbangun di sepertiga malam untuk sholat tahajut. Di saat sholat tahajut inilah, air mataku selalu menetes. Barangkali saat itulah kesadaranku mulai ada. Aku merasakan begitu nista, hingga kelembutan suara adzan pun terasa bising bagiku. Aku menangis. Dan menangis. Ampuni  aku ya Allah….
Bulan pertama aku hidup dalam penjara suci. Perputaran roda kehidupan membawaku berdiri pada satu titik perubahan. Neraka buatanku itu beranjak mengindah. Penjara yang juga buatanku itu menjadi begitu nikmat. Suara adzan itu berubah menjadi suara malaikat yang penuh cinta. Gedoran pintu gothak kini menjadi dongeng yang luar biasa.
Perubahan yang begitu luar biasa, aku bisa menjalankan sholat lima waktu dengan berjamah, tiap hari bisa sholat malam, bisa belajar pada pukul 02.00 dini hari, puasa Senin-Kamis pun bisa aku jalani dengan senang hati. Semua itu bisa aku lakukan dengan rasa yang nikmat dan gembira.
Benar pesan ayah kala itu. Bahwa di pondok pesantren mencari ilmu menuju surga bukan sekadar untuk mencari banyak teman. Hal itulah yang selalu menguatkanku ketika aku merasa tersakiti oleh sikap ataupun ucapan teman-temanku. Aku hanya diam, dan berusaha tidak marah dengan semuanya. Meskipun ketika aku harus belajar, terpaksa mendengar suara musik dari handphone teman. Aku mencoba untuk bisa memahami bahwa setiap orang berbeda karakternya. Makanan ala kadarnya pun mengajariku terus bersyukur. Bersyukur masih ada makanan untuk disantap. Di sini aku belajar kehidupan, bahwa bahagia itu sederhana. Mimpi buruk akan berubah fakta yang indah ketika dijalani dengan senyuman.
Bisa menerima dan menjalali hal yang lebih baik membuatku semakin bersyukur di setiap nafas yang terhembus. Sekarang semuanya menjadi indah . Aku yakin sekarang cinta Allah menuntunku pada satu titik terang. Titik terang itulah yang kuharapkan bisa meraih surga Allah kelak. Semoga berawal dari air mata, aku sanggup menggenggam surga, menggapai ridha Illahi. Amin.

                                                                                                Karya : Tiyas IXF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar