Di dalam Al-Qur`an, Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat, moralitas
tertinggi, dan pola pikir khas orang-orang beriman. Perasaan takut kepada Allah
yang menghunjam di dalam kalbu mereka, keyakinan mereka yang tak tertandingi dan
upaya yang tak pernah goyah untuk mendapatkan ridha-Nya, kepercayaan yang mereka
gantungkan kepada Allah, seperti juga keterikatan, keteguhan, ketergantungan,
dan banyak lagi kualitas superior serupa, semuanya disuguhkan Al-Qur`an. Lebih
jauh, di dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung kualitas-kualitas moral semacam itu,
seperti keadilan, kasih sayang, rendah hati, sederhana, keteguhan hati,
penyerahan diri secara total kepada-Nya, serta menghindari ucapan tak
berguna.
Seiring dengan penyajian rinci tentang orang beriman model ini, Al-Qur`an
juga bertutur mengenai kehidupan orang-orang beriman pada masa dahulu dan
bercerita kepada kita bagaimana mereka berdo'a, berperilaku, berbicara, baik di
kalangan mereka sendiri maupun dengan orang-orang lain di luar mereka, dan dalam
menanggapi berbagai peristiwa. Melalui perumpamaan ini, Allah menarik perhatian
kita kepada sikap dan perbuatan yang disenangi-Nya.
Titik pandang sebuah masyarakat yang jauh dari moralitas Al-Qur`an
(masyarakat jahiliyah) terhadap tingkah laku yang secara sosial bisa diterima
bisa saja berubah, sesuai dengan tahapan waktu, suasana, budaya,
peristiwa-peristiwa, dan manusianya sendiri. Akan tetapi, perilaku dari mereka
yang kokoh berpegang pada ketetapan hukum Al-Qur`an tetap tak tergoyahkan oleh
adanya perubahan kondisi, waktu, dan tempat. Seseorang yang beriman senantiasa
tunduk-patuh kepada perintah dan peringatan Al-Qur`an. Karena itulah, ia
mencerminkan akhlaq terpuji.
Pada bagian ini, akan kami perlihatkan sejumlah contoh perilaku yang layak
mendapat penghargaan sesuai penilaian Allah. Akan tetapi, kami tidak menguraikan
semua kualitas perilaku terpuji dari orang-orang beriman yang secara panjang
lebar telah terteradalam Al-Qur`an. Kami hanya memfokuskan perhatian pada
moralitas terpuji yang masih terselubung dengan segala keagungan-keagungannya
yang terpendam.
Konsep Kesucian
Allah menyeru orang-orang beriman supaya membersihkan (menyucikan) diri
mereka, yang sesuai dengan fitrah jiwa mereka dan sunnah alam. Kesucian dianggap
sebagai satu bentuk lain dari ibadah orang beriman dan, dengan begitu, merupakan
satu sumber kelapangan dan kesenangan yang besar bagi mereka sendiri. Di dalam
banyak ayat, Allah memerintahkan orang beriman agar memperhatikan kesucian jiwa
dan raga. Nabi kita saw. juga menekankan pentingnya memelihara kesucian,
"Kebersihan adalah sebagian dari iman." (HR Muslim)
Di bawah ini ada sejumlah rincian berkaitan dengan kebersihan.
1. Kesucian Jiwa
Pengertian qur`ani tentang kesucian berbeda makna dengan yang dipahami oleh
masyarakat awam. Menurut Al-Qur`an, suci adalah keadaan yang dialami dalam jiwa
seseorang. Demikianlah, kesucian berarti seseorang telah sama sekali
membersihkan dirinya dan nilai-nilai moral masyarakatnya, bentuk pola pikirnya,
dan gaya hidup yang bertentangan dengan Al-Qur`an. Dalam hal ini, Al-Qur`an
menganugerahkan ketenangan jiwa kepada orang-orang beriman.
Tahap awal dari keadaan suci ini berwujud dalam pemikiran. Tak diragukan
lagi, ini merupakan satu kualitas terpenting. Kesucian jiwa yang dialami manusia
tersebut akan terpancar dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian, moral
terpuji orang tersebut akan nyata bagi siapa saja.
Manusia yang berjiwa suci akan menjauhkan pikirannya dari segala bentuk
kebatilan. Mereka tidak pernah berniat menyakiti, cemburu, kejam, dan
mementingkan diri sendiri, yang semuanya merupakan perasaan tercela yang diserap
dan ditampilkan oleh orang-orang yang jauh dari konsep moral Al-Qur`an.
Orang-orang beriman memiliki jiwa kesatria, karena mereka merindukan moral
terpuji. Inilah sebabnya, terlepas dari penampilan ragawi, orang-orang beriman
pun menaruh perhatian besar pada penyucian jiwa mereka-dengan cara menjauhi
semua keburukan yang muncul dari kelalaian-dan mengajak orang lain untuk
mengikuti hal yang serupa.
2. Kesucian Ragawi
Di dunia ini, orang-orang beriman berupaya membina suatu lingkungan yang
mirip dengan surga. Di dunia ini, mereka ingin menikmati segala sesuatu yang
akan Allah anugerahkan kepada mereka di surga. Sebagaimana kita pahami dari
Al-Qur`an, kesucian ragawi merupakan salah satu dari kualitas-kualitas yang
dimiliki manusia surga. Ayat yang berbunyi, "... anak anak
muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan,"
(ath-Thuur [52]: 24) sudah otomatis menjelaskan hal itu. Sebagai
tambahan, Allah menginformasikan kepada kita dalam banyak ayat lainnya, bahwa di
surga tersedia, "pasangan-pasangan hidup yang senantiasa
suci sempurna." (al-Baqarah [2]: 25)
Di ayat lain, Allah menekankan perhatian pada kesucian raga adalah yang
merujuk pada Nabi Yahya a.s., "Kami anugerahkan kepadanya...
kesucian dari Kami." (Maryam [19]: 12-13)
3. Pakaian yang Bersih
Al-Qur`an juga merujuk pada pentingnya pakaian bersih, seperti dalam
ayat, "Dan pakaianmu sucikanlah, dan perbuatan dosa
(menyembah berhala) tinggalkanlah." (al-Muddatstsir [74]: 4-5)
Lebih jauh, kebersihan ragawi adalah hal yang penting, sebab hal ini
menunjukkan penghargaan seseorang kepada orang lain. Sesungguhnya, penghormatan
pada orang lain mensyaratkan pemeliharaan tampilan fisik seseorang. Orang-orang
beriman bukan sekadar menghindari kotoran, ta
pi juga memberikan kesan rapi yang tak mencolok yang memperjelas besarnya
rasa hormat mereka kepada orang lain. Salah satu cara untuk menunjukkan rasa
hormat adalah memakai pakaian bersih. Melalui Al-Qur`an, Allah memerintahkan
kepada kita,
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap
(memasuki) masjid...." (al-A'raaf [7]: 31)
Dalam pemahaman ini, menjaga kebersihan raga dan kerapian serta mengupayakan
yang terbaik dalam berbagai hal, merupakan kualitas yang disenangi Allah.
Kualitas-kualitas semacam ini tidak diutamakan oleh orang-orang yang bodoh. Nabi
kita saw. juga mempertegas pengesahan Allah akan kualitas-kualitas seperti itu,
sebagaimana disebutkan dalam hadits,
"Seseorang bertanya, 'Bagaimana tentang seseorang yang suka
mengenakan pakaian dan sepatu yang indah-indah?' Rasulullah menjawab, 'Semua
ciptaan Allah adalah indah dan Dia menyukai keindahan.'" (HR Muslim)
Kita harus memperhatikan hal berikut ini. Umumnya, setiap orang cenderung
untuk berupaya sebaik mungkin memberikan kesan terhadap sesuatu yang mereka
anggap penting pada setiap pertemuan dengan orang lain. Demikian halnya orang
beriman, sesuai moralitas yang dikehendaki Al-Qur`an, mereka tampak sangat
mementingkan kerapian dengan segenap ketelitiannya dengan tujuan untuk
menyenangkan Allah.
Orang beriman memang layak mendapatkan surga dan, di dunia ini, mereka
terikat untuk selalu berupaya menjaga diri dan lingkungannya agar tetap bersih,
sehingga mereka bisa mendapatkan kesucian dan keindahan surga di dunia ini.
4. Memelihara Kebersihan Lingkungan
Umat Islam sangat berhati-hati dalam menjaga lingkungan terdekat mereka agar
tetap bersih. Satu contoh tentang itu disebutkan dalam surah al-Hajj. Allah
memerintahkan Nabi Ibrahim a.s. untuk memelihara Ka'bah agar tetap bersih untuk
orang-orang beriman yang berdo'a di sekitar tempat itu,
"Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada
Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu menyekutukan
sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf,
dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku dan sujud.'" (al-Hajj
[22]: 26)
Sebagaimana dikehendaki ayat tersebut, kebersihan lingkungan tempat suci yang
sejenis (mushala, masjid, majelis taklim, Ed.) harus dipelihara, terutama sekali
bagi orang-orang beriman lainnya yang hendak menunaikan ibadah untuk mendapatkan
ridha Allah. Karena itu, semua orang beriman yang mengikuti langkah Ibrahim a.s.
harus menjaga tempat tinggal mereka agar tetap bersih dan rapi, sebab hal itu
dapat menyenangkan hati mereka.
Konsep qur`ani tentang kebersihan jelas berbeda dengan pemahaman orang-orang
yang tidak beriman. Allah memerintahkan orang-orang beriman supaya "bersih dan
suci" baik lahir maupun batin. Dengan kata lain, hal ini bukanlah bersih dalam
pengertian klasik atau kuno, melainkan sebuah upaya berkesinambungan.
Menurut kaidah ini, penggambaran Al-Qur`an tentang kehidupan di surga juga
bersifat perintah. Lingkungan surga sudah dibersihkan dari segala bentuk kotoran
yang dapat kita lihat di sekitar kita. Surga adalah sebuah tempat yang penuh
dengan kebahagiaan, dengan kebersihan yang sempurna. Tiap detail yang terwujud
di sana berada dalam keserasian yang sempurna dengan setiap detail lainnya.
Dalam cahaya ilustrasi seperti ini, insan beriman senantiasa harus berupaya
menjaga lingkungan mereka agar bersih dan mengalihkan kenangan mereka pada
tempat-tempat yang mengingatkan mereka kepada surga.
5. Memakan Makanan yang Bersih
Mengonsumsi pangan bersih adalah satu perintah Ilahiah yang harus selalu ada
dalam kalbu semua makhluk beriman,
"Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami
berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, melainkan mereka
menganiaya diri mereka sendiri." (al-Baqarah [2]: 57)
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dan
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan;
karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (al-Baqarah [2]:
168)
Sebagai tambahan, Allah memasukkan dalam hitungan kelompok As-habul Kahfi
untuk menunjukkan bahwa orang-orang beriman cenderung kepada makanan bersih.
Sebagaimana dapat kita baca,
"…Seorang di antara mereka berkata, 'Tuhan kamu lebih
mengetahui berapa lama kamu sudah berada di sini. Utuslah salah seorang dari
kamu ke kota dengan uang perakmu ini, agar dia bisa melihat makanan mana yang
lebih baik, dan membawakan makanan itu untukmu…." (al-Kahfi [18]: 19)
Kita akan kembali ke topik ini pada bab lain dalam judul, "Makanan Bermanfaat
yang Disebut di Dalam Al-Qur`an".
Berlatih, Berenang, dan Air Minum
Perilaku lain yang disebutkan dalam Al-Qur`an tercantum di dalam ayat-ayat
yang berkaitan dengan ungkapan Nabi Ayyub a.s.,
"Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru
Tuhannya, 'Sesungguhnya, aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.'(Allah
berfirman) 'Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk
minum.'" (Shaad [38]: 41-42)
Dalam menanggapi keluhan kesulitan dan penderitaan, Allah menasihati Nabi
Ayyub a.s. supaya "menghentakkan kaki". Nasihat itu dapat dianggap satu pertanda
yang berkenaan dengan manfaat kegiatan olahraga dan berlatih.
Berlatih, khususnya melatih otot-otot panjang seperti terdapat
pada otot-otot kaki (sebagai contoh: gerakan-gerakan isometrik), melancarkan
aliran darah dan, karena itu, meningkatkan volume oksigen untuk masuk ke sel-sel
tubuh. Selain itu, berlatih mengurangi elemen-elemen racun dari tubuh yang dapat
melenyapkan penat, memberikan rasa lega dan kesegaran,1 dan memberikan kemampuan pada
tubuh untuk memperbesar resistensi terhadap mikroba. Latihan teratur juga
menjaga urat-urat darah tetap bersih dan lebar, yang, dengan
kondisi demikian, dapat mencegah: 1)penggumpalan pada urat-urat dan menurunkan
risiko penyakit koroner arteri2 dan 2)
mengurangi risiko diabetes dengan mempertahankan kadar gula darah pada taraf
tertentu dan meningkatkan jumlah kolesterol yang aman di dalam liver.3 Di samping itu, menghentakkan kaki ke tanah
merupakan cara paling efektif untuk 3) melepaskan arus listrik statis yang sudah
menumpuk di dalam tubuh, yang kerap mengakibatkan badan kaku.
Sebagai tambahan, sebagaimana disebutkan ayat di atas, mandi diakui merupakan
metode paling ampuh untuk menghilangkan kebekuan arus listrik di tubuh. Ia juga
melenyapkan ketegangan dan kerumitan pikiran, serta membersihkan badan. Karena
itu, mandi merupakan satu penyembuhan efektif untuk stres dan banyak
ketidakteraturan (gangguan) fungsi fisik dan kejiwaan.
Ayat tadi juga menarik perhatian kita pada manfaat-manfaat tak terhingga dari
air minum. Hampir setiap fungsi jaringan tubuh dipantau dan dikendalikan agar
menyerap air secara efisien melalui jalur pendistribusian. Fungsi-fungsi dari
banyak organ tubuh (misalnya otak, kelenjar peluh, perut, usus, ginjal, dan
kulit) sangat bergantung pada kecukupan distribusi air. Memastikan bahwa tubuh
mendapat jatah air yang cukup tidak saja membuat tubuh berfungsi lebih berdaya
guna, bahkan mungkin menolong seseorang terhindar dari beragam masalah
kesehatan. Peningkatan taraf konsumsi air telah terbukti membantu mengurangi
berbagai keluhan sakit kepala (migren, kolesterol darah tinggi, sakit saluran
rheumatoid penyebab rematik, dan tekanan darah tinggi. Sebagai tambahan pada
beragam manfaat tersebut, air juga menghilangkan letih dan kantuk, sebab serapan
air yang teratur dan mencukupi membantu menghilangkan anasir racun dari tubuh.
Menaati semua anjuran ini, yang semuanya penting dan vital bagi kesehatan
raga dan mental kita, insya Allah akan membuahkan hasil terbaik.
Berjalan Kaki
Orang-orang congkak mengira sikap angkuh bisa menimbulkan rasa kagum manusia
lain. Dan, dengan begitu, secara berlebih-lebihan, mereka memamerkan gaya
berjalan, berbicara, dan memandang dengan penuh sikap sombong. Tanda-tanda
arogansi semacam itu tampak nyata dari gaya berjalan seseorang.
Ayat-ayat yang merujuk kepada nasihat bijak Luqman kepada putra beliau
mengungkapkan secara gamblang keangkuhan sikap dan penampilan seseorang,
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan
diri." (Luqman [31]: 18)
Dalam ayat lain, orang-orang beriman dianjurkan untuk tidak berjalan dengan
sikap angkuh,
"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan
sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan
sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung." (al-Israa` [17]: 37)
Dengan ayat-ayat ini, Allah memberitahukan kepada kita bahwa Dia tidak
menyukai mereka yang sombong dan memperingatkan kita agar menjauhi sikap seperti
itu. Kita harus senantiasa ingat bahwa kesombongan setan, yang tampak dari
tuntutannya bahwa dia lebih tinggi dari makhluk-makhluk lainnya ciptaan Allah,
yang menyebabkan dia tersingkir dari hadapan Allah. Orang beriman yang sadar
akan keburukan kualitas-kualitas seperti ini tentu saja menjauhi semua itu.
Tak seorang pun yang senang berada di sekitar orang sombong. Siapa pula yang
merasa nikmat berdampingan dengan orang-orang semacam itu? Umumnya setiap orang
mengetahui bahwa orang-orang angkuh dan merasa diri lebih tinggi derajatnya,
dalam kenyataannya, tak lebih dari manusia biasa yang penuh dengan beragam
ketidaksempurnaan dan kelemahan-kelemahan. Akibatnya, orang sombong, meskipun
menderita oleh keangkuhan dirinya sendiri, takkan pernah mencapai tujuan untuk
menikmati prestise di kalangan manusia lain di sekitarnya dan sering tercekam
dalam kehinaan.
Al-Qur`an juga menekankan perhatian kita kepada kenyataan bahwa orang-orang
beriman harus memiliki sikap berjalan yang tidak berlebih-lebihan atau
mengada-ada, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, "Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan...." (Luqman [31]: 19) Di dalam mematuhi
perintah Allah, manusia yang sederhana akan berjalan dengan sikap sederhana, dan
dengan demikian meraih kemuliaan dalam pandangan Allah dan orang-orang beriman
seluruhnya.
Intonasi Suara
Tinggi-rendahnya (intonasi) suara adalah bagian penting dari ungkapan
perasaan positif seseorang. Bagaimana seorang menggunakan intonasi mencerminkan
kualitas orang bersangkutan. Bahkan, suara merdu sekalipun dapat menyakiti jika
diartikulasikan dengan tidak sepatutnya. Allah menasihati hamba-hamba-Nya
melalui ucapan Luqman,
"... lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk
suara ialah suara keledai." (Luqman [31]: 19)
Seseorang yang bicara dalam suara keras atau menghardik orang lain tidak akan
memberi kesan menyenangkan pada pihak lain. Di samping itu, pada kebanyakan
kasus, hal seperti ini terasa tak tertahankan, seperti mendengarkan raungan
keledai.
Dengan kata lain, cara orang bicara adalah hal yang penting. Suara orang yang
sedang dirundung berang mungkin terdengar tak mengenakkan, meskipun suara lelaki
atau perempuan itu, dalam suasana normal, mungkin terasa sedap ditelinga.
Sebaliknya juga begitu, seseorang dengan lantunan suara tak sedap bisa saja
terdengar lebih merdu kalau mengikuti nilai-nilai terpuji dari Al-Qur`an. Suara
merdu, di pihak lain, mungkin saja terkesan menyerang dan tak tertahankan, jika
orang itu angkuh dan berkesan menyakitkan. Karena suara orang tersebut, yang
merupakan pantulan sifat negatif diri, baik lelaki atau perempuan, cenderung
berkeluh kesah dan menghasut.
Sebagaimana halnya suara, mereka yang berakhlaq mulia selalu memiliki sifat
rendah hati, santun, bersahaja, damai, dan konstruktif. Dengan sudut pandang
positif dalam kehidupan, mereka selalu ceria, bersemangat, cerah, dan gembira.
Sifat sempurna ini, yang timbul dari kehidupan dengan akhlaq perilaku seperti
dijelaskan dalam Al-Qur`an, termanifestasikan dalam lantun suara seseorang.
Luhur Budi
Al-Qur`an menginformasikan kepada kita bahwa manusia beriman pada
kenyataannya adalah orang-orang yang sangat bermurah hati. Akan tetapi, konsep
Al-Qur`an tentang akhlaq mulia agak berbeda dari yang secara umum ditemukan
dalam masyarakat. Manusia mewarisi sifat santun dari keluarga mereka atau
menyerapnya dari lingkungan masyarakat sekitar. Akan tetepi, pengertian ini
berbeda dari satu strata ke strata lain. Wujud keluhuran budi yang berlandaskan
nilai-nilai qur`ani, walau bagaimanapun, melebihi dan di atas nilai dari
pemahaman mana pun, karena ia tidak akan pernah berubah, baik oleh keadaan
maupun manusia. Mereka yang menyerap unsur akhlaq mulia, sebagaimana pandangan
Al-Qur`an, memandang setiap manusia sebagai hamba-hamba Allah, dan karena itu
memperlakukan mereka dengan segala kebaikan, walaupun tabiat mereka mungkin saja
tidak sempurna. Orang-orang semacam ini menjauhi penyimpangan dan tingkah laku
yang tidak patut, teguh dalam pendirian, bahwa berketetapan dalam kebaikan
mendatangkan kasih sayang Allah, sebagaimana ditandaskan dalam sebuah hadits,
"Allah itu baik dan menyukai kebaikan dalam segala hal." (HR
Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana ditunjukkan ayat berikut, Allah mendorong manusia supaya berbuat
baik dan santun kepada orang lain,
"Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari bani
Israel, 'Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu
bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah
kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan
kamu selalu berpaling." (al-Baqarah [2]:83)
Al-Qur`an menghendaki kebaikan kemutlakan. Dengan kata lain, manusia beriman
tidak boleh berpaling dari perilaku baik, sekalipun kondisi lingkungannya tampak
menginginkan keburukan dan ketidaksenangan. Kelemahan fisik, kehabisan tenaga,
atau kesukaran tidak akan pernah menghalangi mereka dari keajekan mereka dalam
kebaikan. Sementara itu, tak peduli mereka kaya atau miskin, menikmati kedudukan
gemerlap atawa jadi orang dalam bui, manusia beriman memperlakukan setiap orang
dengan baik, karena mereka sadar bahwa Nabi kita saw. menegaskan pentingnya tiap
orang beriman untuk berbuat demikian, sebagaimana tersebut dalam hadits, "Manakala kebaikan ditambahkan pada sesuatu, itu akan
memperindahnya; apabila kebaikan ditarik keluar dari sesuatu, itu akan
meninggalkan cacat."(HR Muslim). Moralitas agung ini diperkuat dalam ayat
berikut, sebagaimana sudah diutarakan dalam bagian sebelumnya,
"... berbuat baiklah pada ibu bapak, kaum kerabat, dan
anak-anak yatim, dan fakir miskin, serta ucapkanlah kata kata yang baik kepada
manusia...." (al-Baqarah [2]: 83)
Orang-orang beriman juga harus sangat berhati-hati terhadap cara mereka
memperlakukan orang tua mereka sendiri. Di dalam Al-Qur`an, Allah memerintahkan
supaya mereka diperlakukan dengan segala kebaikan,
"Dan Tuhanmu telah perintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (al-Israa` [17]: 23)
Satu contoh dalam surah Yusuf menegaskan pentingnya menghormati orang tua.
Nabi Yusuf a.s. pernah dipisahkan dari keluarganya, untuk waktu lama, karena
saudara-saudaranya menjebloskan beliau ke dalam sebuah sumur. Tak lama kemudian,
beliau ditemukan oleh satu rombongan pedagang yang membawanya ke Mesir dan
menjualnya sebagai budak. Kemudian, karena dakwaan palsu, dia dijebloskan ke
penjara selama bertahun-tahun, dan dibebaskan, hanya berkat pertolongan Allah,
untuk diangkat menjadi bendahara kerajaan Mesir. Kemudian, setelah semua ini,
beliau memindahkan seluruh keluarganya dari Madyan ke Mesir dan menyambut mereka
seperti terlukis dalam ayat berikut,
"Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf
merangkul ibu bapaknya dan dia berkata, 'Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya
Allah dalam keadaan aman.' Dan dia naikkan kedua ibu-bapaknya ke atas
singgasana…." (Yusuf [12]: 99-100)
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa Nabi Yusuf a.s., terlepas dari status
terhormatnya, berperilaku yang luar biasa santun kepada kedua orang tuanya.
Mengangkat keduanya ke atas singgasana, menandakan hormat dan cintanya kepada
keduanya, dan juga menunjukkan akhlaqnya nan mulia.
Ramah Tamah
Bagi umat beriman, yang mengikuti moralitas Al-Qur`an, memuliakan tamu mereka
merupakan wujud kepatuhan pada salah satu perintah Allah serta satu kesempatan
untuk mengaplikasikan moralitas yang tinggi. Sebab itulah, hamba-hamba beriman
menyambut tamu-tamu mereka dengan penuh takzim.
Di dalam masyarakat yang tidak beriman, orang umumnya menganggap tamu sebagai
satu beban, baik dari sudut material maupun spiritual, karena mereka tidak dapat
melihat kejadian-kejadian semacam itu sebagai kesempatan untuk mendapatkan
kesenangan Allah dan memperagakan akhlaq mulia. Sebaliknya, orang yang tidak
beriman beranggapan bahwa santun dan sopan pada tamu tak lebih dari merupakan
keharusan kemasyarakatan. Hanya karena mengharapkan suatu imbalan
keberuntunganlah yang menggugah mereka untuk ramah dan santun pada tamu.
Al-Qur`an secara khusus menekankan perhatian agar manusia beriman menunjukkan
akhlaq mulia kepada tamu. Sebelum yang lain-lainnya, manusia beriman menyuguhkan
hormat, cinta, damai dan santun kepada setiap tamu. Sambutan biasanya didasarkan
pada mempersiapkan tempat dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, yang tanpa ungkapan
hormat, cinta, dan damai, tidak bakal menyenangkan sang tamu. Di dalam ayat
berikut, Allah mempertegas betapa Dia menyenagi kemolekan jiwa di atas apa pun
selain itu,
"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang
serupa. Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu." (an-Nisaa` [4]:
86)
Sebagaimana tersurat dalam ayat di atas, moralitas qur`ani mendorong manusia
beriman agar berlomba-lomba dalam amal kebaikan, walau sekadar perbuatan biasa
seperti menyambut tamu, sebagai satu sikap yang sudah dicontohkan di sini.
Al-Qur`an juga menginginkan kita memperlakukan tamu agar mereka merasa nyaman
dengan menanyakan apa saja keperluan mereka, dan memenuhinya, sebelum sang tamu
mengutarakannya. Cara Nabi Ibrahim a.s. melayani tamu beliau merupakan satu
contoh bagus tentang ini dan merupakan peragaan satu wujud penting dari
keramahtamahan,
"Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim
yang dimuliakan? Ingatlah ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan
'Salamun!'; Ibrahim menjawab 'salaman', kalian adalah orang-orang tidak dikenal.
Maka dia pergi secara diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging
anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkan kepada mereka (tetapi mereka
tidak mau makan)." (adz-Dzaariyaat [51]: 24-27)
Satu hal penting dari ayat-ayat ini yang menarik perhatian kita: akan lebih
baik kita lebih dulu menanyakan keperluan tamu, laki atau perempuan, sebelum dia
memintanya, karena tamu yang sopan biasanya menunda-nunda mengemukakan
keperluannya. Di luar dari pemikirannya, tamu semacam ini bahkan mencoba menolak
apa yang mungkin ditawarkan tuan/nyonya rumah. Bila ditanya apakah dia
memerlukan sesuatu, sang tamu mungkin akan menjawab "tidak" dan berterima kasih
atas tawaran tersebut. Untuk alasan seperti itu, moral qur`ani akan memikirkan
sejak awal tentang apa saja yang mungkin diperlukan tamunya.
Perilaku lain yang disukai berkenaan dengan hal ini adalah menawarkan bantuan
tanpa menunda-nunda. Di atas segalanya, perilaku seperti ini mengedepankan rasa
senang tuan rumah bila tamu merasa bahagia berada di sana. Sebagaimana
disebutkan ayat tadi, menawarkan sesuatu "dengan segera" mengungkap kemauan
tulus tuan/nyonya rumah untuk melayani tamunya.
Tingkah laku mulia lainnya yang dapat dipetik dari ayat-ayat tadi adalah
walaupun Nabi Ibrahim a.s. belum pernah kedatangan tamu sebelumnya, dia berupaya
keras untuk melayani mereka sebaik mungkin dan bersegera menyuguhkan daging
bakar "anak sapi gemuk", sejenis daging yang terkenal sangat sedap rasanya,
sehat dan bergizi. Dus, bisa kita tambahkan bahwa selain dari mencukupi
layanan-layanan yang telah disebutkan, tuan/nyonya rumah harus pula
mempersiapkan dan menawarkan makanan kualitas prima, enak, dan segar.
Di luar semua ini, Allah juga menekankan perhatian akan daging yang hendak
disajikan untuk tamu.
oleh : Harun Yahya.
oleh : Harun Yahya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar